Translate

Selasa, 15 Januari 2013

Menikah Bukan Hal yang Mudah !



Menikah Memerlukan Kesiapan Sosial dan Psikologis

Perkawinan pada masyarakat Indonesia tidak hanya berhubungan atau melibatkan pasangan yang akan melakukan perkawinan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perkawinan “dua keluarga”. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (1997) yang menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam keputusan penetapan waktu perkawinan anak-anaknya tetap berlangsung, meskipun mereka bebas memilih pasangannya sendiri seperti yang terjadi di Indonesia, Srilangka, China ,Taiwan dan Jepang. Dukungan significant others yang tinggi pada penundaan usia perkawinan disebabkan karena mereka menyadari bahwa persiapan yang lebih matang terutama dari segi kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi diperlukan untuk menjamin kelangsungan masa depan sebuah perkawinan. Sarwono (1997) mengatakan bahwa penundaan usia perkawinan dapat disebabkan karena norma sosial semakin lama menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk dilangsungkannya sebuah perkawinan, yakni pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain (Sarwono, 1997).

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) memang sangat penting karena akan memberikan waktu lebih banyak bagi generasi muda untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis (1963) yang mengatakan bahwa penundaan atau pendewasaan usia perkawinan akan mempengaruhi kesiapan individu terutama kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi, dalam memasuki kehidupan perkawinan yang berarti juga akan meningkatkan stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari (Landis, 1963). Semua bentuk kesiapan ini mendukung individu untuk dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil dan individu dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.

Menikah Muda Rentan terhadap Perceraiaan
Kesiapan biologis menjadi salah satu pertimbangan penting subyek penelitian dalam menunda perkawinan. Kesiapan biologis mengacu kepada kematangan seksual yang dimilki individu sehingga mampu mendapatkan keturunan dan siap menerima konsekuensi sebagai orang tua (hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak).

Kesiapan psikologis menjadi alasan kedua subyek penelitian untuk menunda perkawinan. Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga, dan tidak memilki kecemasan yang berlebihan terhadap perkawinan, akan tetapi menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis bahwa individu yang siap secara psikologis untuk menikah akan bersikap flexibel dan adaptif dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memandang pernikahan sebagai sebuah fase dalam kehidupan yang akan dapat mendatangkan berbagai persoalan baru yang tentunya memerlukan tanggung jawab lebih besar (Landis, 1963).

Perkawinan bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan memberi perlindungan bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam masyarakat tersebut, serta untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi sebuah perkawinan membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk sebuah perkawinan yang akan terjadi. Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan oleh individu yang siap secara psikologis adalah mereka akan menyadari implikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari perkawinan bagi kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam memasuki kehidupan perkawinan agar individu siap dan mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah bimbang dan putus asa.

Kesiapan secara sosial juga merupakan pertimbangan penting bagi penetapan waktu perkawinan. Subyek penelitian berkeyakinan bahwa menunda perkawinan akan memberi manfaat dalam meningkatkan kesiapan individu dalam menjalankan status baru dalam masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya, serta bersedia untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang berlainan.

Kartono (1987) mengatakan kesiapan secara sosial diperlukan karena akan membawa seseorang dari masa yang kekanak-kanakan penuh egosentrisme kepada akseptuasi sepenuhnya dari pertanggungjawaban sebagai manusia dewasa ditengah masyarakat, sehingga mampu melakukan adaptasi sosial, dan mampu mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa integrasi sosial perlu dipelajari oleh setiap individu, karena sangat esensial bagi setiap bentuk hubungan dan interrelasi diri di tengah masyarakat, khususnya untuk interrelasi yang sangat intim dalam bentuk perkawinan.

Selain kesiapan secara sosial, kesiapan ekonomi juga dianggap merupakan manfaat yang akan diperoleh subyek penelitian dari menunda perkawinan. Kesiapan ekonomi berarti individu mampu untuk mandiri, memiliki mata pencaharian yang mantap sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan tidak lagi bergantung pada orang tua. Kesiapan ekonomi juga berarti adanya kemampuan merencanakan dan mengelola keuangan dengan baik.

Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia dewasa akan membuat orangtua yakin bahwa anak-anak mereka cukup mampu bertanggung jawab pada perkawinannnya dan tidak akan terlalu ikut campur pada permasalahan yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal ini juga dapat mengurangi friksi yang mungkin terjadi dengan keluarga pasangan (Laswell, 1987).

Sumber : http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usia- perkawinan-dengan-intensi-penundaan-usia-perkawinan.html

Resiko Hamil di Usia Muda



Kasus hamil di luar nikah pada remaja putri terus bertambah. Hamil saat masih sangat muda tidak hanya merusak indahnya masa-masa muda si remaja tapi juga berisiko besar buat kesehatannya. Karena perempuan yang belum cukup umur memiliki organ-organ reproduksi yang belum kuat untuk berhubungan intim atau melahirkan. Akibatnya remaja putri yang hamil di usia ABG berisiko 4 kali lipat mengalami luka serius dan meninggal saat melahirkan.
Berikut beberapa bahaya yang akan mengancam remaja putri jika hamil di usia muda :
  1. Secara organ reproduksi ia belum siap untuk berhubungan atau mengandung, sehingga jika hamil berisiko mengalami tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat). Kondisi ini biasanya tidak terdeteksi pada tahap-tahap awal, tapi nantinya menyebabkan kejang-kejang, perdarahan bahkan kematian pada ibu atau bayinya.
  2. Sel telur yang dimiliki oleh perempuan tersebut belum siap
  3. Berisiko mengalami kanker serviks (kanker leher rahim), karena semakin muda usia pertama kali seseorang berhubungan seks, maka semakin besar risiko daerah reproduksi terkontaminasi virus.
Beberapa risiko medis lain yang dapat terjadi pada remaja putri yang hamil di usia muda  antara lain :
  1. Kurangnya perawatan kehamilan. Remaja perempuan yang sedang hamil, terutama jika tidak memiliki dukungan dari orang tua, dapat berada pada risiko tidak mendapatkan perawatan kehamilan yang memadai. Kehamilannya menjadi genting, terutama pada bulan-bulan pertama kehamilan.
  2. Tekanan darah tinggi. Remaja perempuan yang hamil memiliki risiko lebih tinggi terkena tekanan darah tinggi dibandingkan dengan wanita hamil yang berusia 20-30 tahun. Kondisi tersebut disebut dengan pregnancy-induced hypertension. Remaja perempuan yang hamil juga memiliki risiko lebih tinggi dari preeklamsia. Preeklamsia merupakan kondisi medis berbahaya yang merupakan komninasi dari tekanan darah tinggi dengan kelebihan protein dalam urin, pembengkakan tangan dan wajah, serta kerusakan organ. 
  3. Kelahiran premature. Sebuah usia kehamilan penuh berlangsung selama 40 minggu. Bayi yang lahir sebelum 37 minggu dapat dikategorikan sebagai bayi prematur. Bayi yang lahir lebih awal, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah pernapasan, pencernaan, penglihatan, kognitif, dan masalah lainnya. 
  4. Berat lahir bayi rendah. Remaja perempuan yang hamil berisiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Hal tersebut karena bayi memiliki waktu yang kurang dalam rahim untuk tumbuh. Bayi lahir dengan berat badan rendah biasanya memiliki berat badan sekitar 1.500-2.500 gram 
  5. Penyakit menular seksual (PMS). Untuk remaja yang berhubungan seks selama kehamilan, penyakit menular seksual seperti klamidia dan HIV adalah perhatian utama. PMS ini dapat naik melalui serviks dan menginfeksi rahim dan pertumbuhan bayi. 
  6. Depresi postpartum. Remaja perempuan yang hamil mungkin lebih berisiko mengalami depresi postpartum, yaitu depresi yang dimulai setelah melahirkan bayi. Remaja perempuan yang merasa down dan sedih, baik saat hamil atau setelah melahirkan, harus berbicara secara terbuka dengan dokter atau orang lain yang mereka percaya. Depresi dapat mengganggu merawat bayi yang baru lahir 
  7. Merasa sendirian dan terkucilkan. Khusus untuk remaja yang berpikir tidak dapat memberitahu orang tuanya bahwa sedang hamil, merasa takut, terisolasi, dan merasa sendiri dapat menjadi masalah nyata.Tanpa dukungan keluarga atau orang dewasa lainnya, remaja perempuan yang hamil cenderung tidak akan makan dengan baik, olahraga, atau mendapatkan banyak istirahat.
Sumber : http://www.kesehatanreproduksi.com/forum/index.php/topic,6080.0.html

Pendewasaan Usia Perkawinan Sangat Penting !

    Masa dewasa awal adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang memiliki masa terpanjang sepanjang rentang kehidupan seseorang. Pada masa dewasa awal individu dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan, seperti yang dikemukakan oleh Havigurst bahwa lima dari tugas perkembangan dewasa awal merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga (Papalia and Olds, 1986).

    Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status dari lajang menjadi seorang istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993). Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan belum dapat disebut layak untuk melakukan perkawinan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau pendewasaan usia perkawinan.

    Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota besar terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan. Dalam laporan penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BPS, 1986) dikemukakan bahwa partisipasi dalam karir pekerjaan sebelum perkawinan dapat menunda usia perkawinan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain (terutama bagi gadis) dari melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan seseorang belum menikah karena “masih sekolah”, walaupun usianya sudah mencapai bahkan melampaui rata-rata usia perkawinan yang berlaku di masyarakat.

     Penundaan usia perkawinan sampai pada usia dewasa dianggap banyak memberikan keuntungan bagi seorang individu. Perkawinan di usia dewasa akan menjamin kesehatan reproduksi ideal bagi wanita sehingga kematian ibu melahirkan dapat dihindari. Perkawinan di usia dewasa juga akan memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis dan sosial ekonomi. Hampir semua studi yang dilakukan berkaitan dengan hubungan antara usia perkawinan dengan kebahagiaan perkawinan menunjukkan bahwa peluang kebahagiaan dalam perkawinan lebih rendah tercapai jika pria menikah sebelum usia 20 tahun dan wanitanya menikah sebelum usia 18 tahun (Landis, 1963). Dikatakan pula bahwa meskipun usia tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor yang bertanggung jawab dalam proporsi kegagalan perkawinan, akan tetapi terdapat indikasi bahwa perkawinan belia cacat sejak permulaan karena biasanya pasangan memasukinya dengan terburu-buru, setelah perkenalan yang singkat, dan seringkali tanpa pertimbangan matang mengenai realitas yang akan mereka hadapi setelah menikah. Oleh karena itu penundaan usia perkawinan banyak dianjurkan pada mereka yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan.

    Terlebih lagi laporan dari Badan Survei Kesuburan Dunia dan Survei Demografi Kesehatan Dunia menyebutkan bahwa rata-rata usia perkawinan pertama wanita Indonesia masih termasuk dalam kategori usia kawin yang rendah yang sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas (Malhotra, 1997). Wanita yang menikah pada usia yang relatif muda (kurang dari 15 tahun) akan memiliki anak yang lebih banyak dari mereka yang menikah pada usia yang lebih dewasa (Adiotomo, 1983). Bagi Negara Indonesia yang menempati urutan ke 5 penduduk terpadat di dunia, tentu saja penundaan usia perkawinan menjadi masalah mendesak yang perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah untuk menghindari angka kelahiran yang tidak terkendali.
 
Sumber : http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usia-perkawinan-dengan-intensi-penundaan-usia-perkawinan.html