Menikah Memerlukan Kesiapan Sosial dan Psikologis |
Perkawinan
pada masyarakat Indonesia tidak hanya berhubungan atau melibatkan pasangan yang
akan melakukan perkawinan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perkawinan “dua
keluarga”. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (1997)
yang menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam keputusan penetapan waktu
perkawinan anak-anaknya tetap berlangsung, meskipun mereka bebas memilih
pasangannya sendiri seperti yang terjadi di Indonesia, Srilangka, China ,Taiwan
dan Jepang. Dukungan significant others yang tinggi pada penundaan usia
perkawinan disebabkan karena mereka menyadari bahwa persiapan yang lebih matang
terutama dari segi kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi diperlukan untuk
menjamin kelangsungan masa depan sebuah perkawinan. Sarwono (1997) mengatakan
bahwa penundaan usia perkawinan dapat disebabkan karena norma sosial semakin
lama menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk dilangsungkannya sebuah
perkawinan, yakni pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain
(Sarwono, 1997).
Pendewasaan
Usia Perkawinan (PUP) memang sangat penting karena akan memberikan waktu lebih
banyak bagi generasi muda untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu
yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Landis (1963) yang mengatakan bahwa penundaan atau pendewasaan
usia perkawinan akan mempengaruhi kesiapan individu terutama kesiapan
psikologis, sosial dan ekonomi, dalam memasuki kehidupan perkawinan yang
berarti juga akan meningkatkan stabilitas perkawinan sehingga kegagalan
perkawinan dapat dihindari (Landis, 1963). Semua bentuk kesiapan ini mendukung
individu untuk dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan
dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil dan individu dapat
merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.
Menikah Muda Rentan terhadap Perceraiaan |
Kesiapan
biologis menjadi salah satu pertimbangan penting subyek penelitian dalam
menunda perkawinan. Kesiapan biologis mengacu kepada kematangan seksual yang
dimilki individu sehingga mampu mendapatkan keturunan dan siap menerima
konsekuensi sebagai orang tua (hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak).
Kesiapan
psikologis menjadi alasan kedua subyek penelitian untuk menunda perkawinan.
Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran
sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing
dalam rumah tangga, dan tidak memilki kecemasan yang berlebihan terhadap
perkawinan, akan tetapi menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang wajar untuk
dijalani. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis bahwa individu yang siap secara
psikologis untuk menikah akan bersikap flexibel dan adaptif dalam menjalin
hubungan dengan orang lain, memandang pernikahan sebagai sebuah fase dalam
kehidupan yang akan dapat mendatangkan berbagai persoalan baru yang tentunya
memerlukan tanggung jawab lebih besar (Landis, 1963).
Perkawinan
bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu
lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan
memberi perlindungan bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam masyarakat
tersebut, serta untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat
itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi
sebuah perkawinan membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk
sebuah perkawinan yang akan terjadi. Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan
oleh individu yang siap secara psikologis adalah mereka akan menyadari
implikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari perkawinan bagi
kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam
memasuki kehidupan perkawinan agar individu siap dan mampu menghadapi berbagai
masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah bimbang dan putus asa.
Kesiapan
secara sosial juga merupakan pertimbangan penting bagi penetapan waktu
perkawinan. Subyek penelitian berkeyakinan bahwa menunda perkawinan akan
memberi manfaat dalam meningkatkan kesiapan individu dalam menjalankan status
baru dalam masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya,
serta bersedia untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang
berlainan.
Kartono
(1987) mengatakan kesiapan secara sosial diperlukan karena akan membawa
seseorang dari masa yang kekanak-kanakan penuh egosentrisme kepada akseptuasi
sepenuhnya dari pertanggungjawaban sebagai manusia dewasa ditengah masyarakat,
sehingga mampu melakukan adaptasi sosial, dan mampu mengintegrasikan diri di
tengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa integrasi sosial perlu
dipelajari oleh setiap individu, karena sangat esensial bagi setiap bentuk
hubungan dan interrelasi diri di tengah masyarakat, khususnya untuk interrelasi
yang sangat intim dalam bentuk perkawinan.
Selain
kesiapan secara sosial, kesiapan ekonomi juga dianggap merupakan manfaat yang
akan diperoleh subyek penelitian dari menunda perkawinan. Kesiapan ekonomi
berarti individu mampu untuk mandiri, memiliki mata pencaharian yang mantap
sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan tidak lagi bergantung
pada orang tua. Kesiapan ekonomi juga berarti adanya kemampuan merencanakan dan
mengelola keuangan dengan baik.
Individu yang
menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial
maupun emosional. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia dewasa akan membuat
orangtua yakin bahwa anak-anak mereka cukup mampu bertanggung jawab pada
perkawinannnya dan tidak akan terlalu ikut campur pada permasalahan yang
mungkin saja terjadi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal ini juga dapat
mengurangi friksi yang mungkin terjadi dengan keluarga pasangan (Laswell,
1987).
Sumber
: http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usia- perkawinan-dengan-intensi-penundaan-usia-perkawinan.html