Masa dewasa awal adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang
memiliki masa terpanjang sepanjang rentang kehidupan seseorang. Pada
masa dewasa awal individu dianggap telah siap menghadapi suatu
perkawinan, seperti yang dikemukakan oleh Havigurst bahwa lima dari
tugas perkembangan dewasa awal merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang
bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga (Papalia and Olds, 1986).
Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak
konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan
baru individu dewasa dan pergantian status dari lajang menjadi seorang
istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang
perkawinan (Hurlock, 1993). Individu yang memiliki kesiapan untuk
menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi
segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis and
Landis, 1963). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kesiapan menuju
kehidupan perkawinan belum dapat disebut layak untuk melakukan
perkawinan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau
pendewasaan usia perkawinan.
Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota
besar terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam
karir dan pendidikan. Dalam laporan penelitian Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BPS, 1986) dikemukakan bahwa
partisipasi dalam karir pekerjaan sebelum perkawinan dapat menunda usia
perkawinan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain (terutama bagi
gadis) dari melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan
seseorang belum menikah karena “masih sekolah”, walaupun usianya sudah
mencapai bahkan melampaui rata-rata usia perkawinan yang berlaku di
masyarakat.
Penundaan usia perkawinan sampai pada usia dewasa dianggap banyak
memberikan keuntungan bagi seorang individu. Perkawinan di usia dewasa
akan menjamin kesehatan reproduksi ideal bagi wanita sehingga kematian
ibu melahirkan dapat dihindari. Perkawinan di usia dewasa juga akan
memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis dan sosial ekonomi.
Hampir semua studi yang dilakukan berkaitan dengan hubungan antara usia
perkawinan dengan kebahagiaan perkawinan menunjukkan bahwa peluang
kebahagiaan dalam perkawinan lebih rendah tercapai jika pria menikah
sebelum usia 20 tahun dan wanitanya menikah sebelum usia 18 tahun
(Landis, 1963). Dikatakan pula bahwa meskipun usia tidak dapat dijadikan
sebagai satu-satunya faktor yang bertanggung jawab dalam proporsi
kegagalan perkawinan, akan tetapi terdapat indikasi bahwa perkawinan
belia cacat sejak permulaan karena biasanya pasangan memasukinya dengan
terburu-buru, setelah perkenalan yang singkat, dan seringkali tanpa
pertimbangan matang mengenai realitas yang akan mereka hadapi setelah
menikah. Oleh karena itu penundaan usia perkawinan banyak dianjurkan
pada mereka yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan.
Terlebih lagi laporan dari Badan Survei Kesuburan Dunia dan Survei
Demografi Kesehatan Dunia menyebutkan bahwa rata-rata usia perkawinan
pertama wanita Indonesia masih termasuk dalam kategori usia kawin yang
rendah yang sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas (Malhotra, 1997).
Wanita yang menikah pada usia yang relatif muda (kurang dari 15 tahun)
akan memiliki anak yang lebih banyak dari mereka yang menikah pada usia
yang lebih dewasa (Adiotomo, 1983). Bagi Negara Indonesia yang menempati
urutan ke 5 penduduk terpadat di dunia, tentu saja penundaan usia
perkawinan menjadi masalah mendesak yang perlu mendapatkan perhatian
besar dari pemerintah untuk menghindari angka kelahiran yang tidak
terkendali.
Sumber : http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usia-perkawinan-dengan-intensi-penundaan-usia-perkawinan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar